Ads Top

4 Penelitian Menarik Terkait Media Sosial Sejuta Umat, Instagram



NOTESIAGOY -- Tak bisa dipungkiri, beberapa tahun terakhir Instagram adalah media sosial yang wajib dimiliki oleh tiap orang. Ketika Facebook dan Twitter berisi kiriman negatif, Instagram bisa tetap menyebar kiriman dengan nada positif.

Terlebih lagi berbagai fitur seperti Instagram Story, yang secara statistik penggunanya telah lebih banyak ketimbang jejaring sosial yang mengusung konsep aslinya, Snapchat.

Meski demikian, banyak hal yang bisa diteliti dari Instagram, mulai dari bagaimana perilaku masyarakat di dunia maya, hingga apa yang dicerminkan perilaku tersebut dengan kondisi masyarakat atau lebih detil lagi dari penggunanya.

Berikut beberapa penelitian menarik terkait Instagram yang kini jadi media sosial sejuta umat


1. Instagram bisa deteksi tingkat depresi



Fitur filter yang ada di Instagram dan juga bisa diraih dengan berbagai aplikasi edit foto pihak ketiga, ternyata bisa digunakan untuk mendeteksi kondisi pikiran seseorang, khususnya tingkat depresi.

Andrew Reece dari Harvard University dan Chris Danforth dari University of Vermont mempublikasikan sebuah artikel ilmiah soal hubungan antara pemilihan warna filter Instagram dan kondisi mental pengguna. Hasil penelitian ini menunjukkan bila mereka yang tengah depresi cenderung menggunakan filter foto lebih gelap dan berwarna keabu-abuan.

Sebagai contoh adalah beberapa filter default bawaan Instagram. Mereka yang tidak mengalami depresi lebih memilih menggunakan filter cerah seperti 'Valencia' atau tidak memakai filter sama sekali. Di sisi lain, mereka yang depresi memilih filter hitam putih atau yang di Instagram bernama 'Inkwell'.

Lebih lanjut, berdasarkan hasil penelitian yang mengikutsertakan 170 orang pegawai Amazon tersebut, Andrew dan Chris mengembangkan sebuah program yang dapat menentukan apakah seseorang memiliki gejala depresi atau tidak dari pemilihan filter di foto Instagram mereka.


2. Lihat foto makanan di Instagram bisa bikin ngiler beneran



Membagi foto makanan yang akan kita makan di jejaring sosial seperti Instagram, Twitter, ataupun Path, tak ayal jadi fenomena yang baru.

Dari sebuah penelitian di tahun 2012 yang dipublikasikan di US National Library of Medicine National Institutes of Health, disimpulkan bahwa hanya dengan melihat foto makanan, sudah cukup untuk tubuh manusia merilis hormon ghrelin, sebuah hormon yang mengisyaratkan rasa lapar.

Hal ini juga dipengaruhi oleh mekanisme kerja otak manusia yang cukup kompleks. Menurut Gabriella Petrick, seorang professor Nutrisi dan Studi Makanan di George Mason University, hanya dengan berpikir kita sedang melempar bola bisbol, otak kita bereaksi seakan-akan kita benar-benar melempar bola bisbol.

Ketika kita makan sesuatu, beberapa bagian di otak manusia bereaksi secara berbeda. Tak hanya rasa, otak kita juga akan menyimpan bentuk, suara, dan berbagai hal yang mengkonstruksikan makanan tersebut. Hal inilah yang membuat otak kita 'terpanggil' hanya dengan melihat foto di Instagram.

Selain dari aspek ilmiah yang terkait dengan reaksi otak dan mekanismenya terhadap visualisasi makanan, ternyata aspek lain juga mempengaruhi kecintaan kita terhadap foto makanan di sosial media yang sering disebut 'foodporn' ini. Hal ini meliputi tingkat kepentingan aktivitas makan yang merupakan hal primer dalam kehidupan, hingga sifat manusia yang ingin mencoba hal baru dan mengikuti tren.


3. Jangan dihakimi, orang kecanduan Instagram justru hidupnya bahagia



Seringkali kita berpikir bahwa orang yang terlalu banyak menghabiskan waktu di media sosial berarti tak punya 'kehidupan' di dunia nyata. Namun janganlah berpikir demikian. Selain itu berarti Anda menghakimi kehidupan orang lain, sebuah penelitian yang diunggah di Jurnal "Personality and Social Psychology" menyatakan bila hal tersebut tidak sepenuhnya benar.

Penelitian yang mengikutsertakan 2000 orang dalam 9 jenis eksperimen membuktikan bila mereka yang suka memfoto apapun lebih bahagia ketimbang yang tidak mengabadikannya.

Kristin Diehl, ilmuwan dari University of Southern California yang mengetuai penelitian tersebut menyatakan bahwa ini adalah penelitian mendetail pertama yang menginvestigasi bagaimana mengabadikan foto mempengaruhi tingkat kebahagiaan dari kegiatan masyarakat. Sebelumnya, tentu masyarakat hanya sekedar mengasumsikan macam-macam terhadap para pecandu Instagram.

Mereka yang doyan berfoto saat sebuah acara juga diklaim lebih menikmati acara tersebut. Akan tetapi, penelitian ini menyatakan bila perlengkapan yang dipakai untuk memotret yang terlampau 'mengganggu', seperti kamera terlalu besar atau sulit digunakan, maka hasilnya akan sebaliknya: kebahagiaan itu akan sirna.


4. Makin sering komentar di Instagram, makin bodoh komentarnya



Netizen yang punya makna harfiah sebagai warga internet, kini punya konotasi negatif yang berarti para 'komentator' di media sosial. Jika ini jadi rutinitas sehari-hari, ada efek negatif di baliknya.

Berdasarkan penelitian University of Southern California, semakin lama waktu yang dihabiskan seseorang membuat komentar online, semakin rendah kualitas komentar yang ada. Bahkan, ilmuwan menyebutnya sebagai komentar-komentar bodoh.

Kesimpulan ini didapat setelah dilakukan penelitian terhadap 40 juta komentar di jejaring sosial Reddit. Peneliti menemukan bila pengguna Reddit yang menghabiskan waktu lebih dari satu jam berbalas komentar, opini mereka jadi tidak berkesan dan sedikit mendapat upvote atau jawaban.

Untuk saat ini peneliti University of Southern California memang masih fokus pada Reddit, namun di masa depan mereka berencana menganalisa komentar di Facebook dan Twitter guna mengungkap hal-hal lain seputar komentar di sosial media.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.