Ads Top

Jejak Pejuang INDONESIA Di Kota Pembuangan



Para pejuang kemerdekaan tidak hanya berhadapan dengan todongan senjata atau kungkungan jeruji besi. Tapi juga pembuangan dan pengasingan (interniran) dari kampung halaman, keluarga, teman bahkan dunia luar.

Para pejuang dipaksa depresi dalam kesendirian di pengasingan, agar mereka menyerah untuk berjuang. Nyatanya, selama di pengasingan semangat berjuang untuk kemerdekaan semakin besar dan berapi-api.

    LOKASI PENGASINGAN
  • Bengkulu, Sumatera
  • Sumedang
  • Makassar
  • Ende, Flores
  • Banda Naira, Maluku
  • Boven Digul, Papua



  • Ende, Flores


    Ende pada tahun 1930-an merupakan daerah pesisir dengan populasi sekitar 5.000-an orang. Secara geografis Ende mayoritas wilayahnya dipenuhi hutan, kebun karet dan tanaman rempah.

    Dikenal sebagai miniature Indonesia karena keberagaman latar belakang warganya. Ende makin dikenal setelah menjadi kota pengasingan bagi Sukarno.

    Sukarno
    1934-1938

    Mengalami masa-masa sulit karena terisolasi dari dunia luar, juga minimnya akses berkorespondensi. Beliau malah mampu membentuk kelompok sandiwara ‘Kalimutu’ dan menulis 12 judul sandiwara.





    Bengkulu, Sumatera


    Dahulu Bengkulu merupakan daerah penghasil lada den rempah-rempah. Sebelum dikuasai pemerintah Hindia Belanda, Bengkulu pernah menjadi daerah jajahan Inggris. Sekitar tahun 1860-an barulah Belanda mendirikan administrasi kolonialnya di Bengkulu, perekonomian di kota ini kemudian berkembang setelah sebelumnya sempat terhenti ditangan Inggris.

    Saat pengasingan di Ende Flores, pemerintah kolonial Belanda mencurigai Sukarno menjalin komunikasi dengan pihak luar. Karena itu Sukarno di pindah ke Bengkulu pada 1938 untuk membatasi geraknya.

    Awalnya tinggal disebuah hotel, sebelum akhirnya tinggal rumah seorang pedagang Tionghoa, bernama Lion Bwe Seng yang disewa oleh pihak Belanda. Di Bengkulu inilah Sukarno bertemu dengan Fatmawati, istri ketiganya.


    Sukarno
    1938-1942

    Mendirikan perkumpulan sandiwara ‘Monte Carlo’ bersama kawan-kawan pergerakan yang berdarah seniman.





    Boven Digul, Papua


    Boven Digul merupakan kamp konsentrasi atau tempat pembuangan bagi tokoh-tokoh yang dianggap berbahaya bagi pemerintah Hindia Belanda. Berada di hilir tepi sungai Digul dan hutan rimba sisi lainnya. Luasnya 10.000 ha dan terasing dari dunia luar.

    Mampu menampung 1.300 lebih tahanan politik. Tokoh-tokoh pergerakan yang pernah dibuang di Boven Digul ini merupakan orang-orang yang berjasa terhadap kemerdekaan Indonesia.



    Marco Kartodikromo
    1927-1932

    Dikenal Mas Marco, ia adalah penulis dan seorang jurnalis. Tulisannya yang kerap mengkritik kolonialisme membuatnya menjadi sorotan pemerintah Belanda.

    Sebelum diasingkan ke Digul, Papua, Marco pernah merasakan jeruji penjara sebanyak dua kali. Beliau akhirnya meninggal di tempat pengasingan karena penyakit TBC.

    Hatta-Sjahrir
    1935-1936

    Selama pengasingan Hatta tetap bisa produktif dengan menulis dan mengajar. Aktivitasnya ini membuat ia bisa bertahan ‘waras’ di tengah suasana gila selama pengasingan



    Sewaktu di pengasingan Sjahrir dikisahkan sempat stres. Perangainya aneh dan kawan-kawannya menjulukinya ‘Kelana Jenaka"




    Banda Naira, Maluku Tengah


    Banda Naira merupakan salah satu pulau di Kepulauan Banda, Maluku. Naira menjadi pusat perdagangan pala dan fuli dunia serta menjadi daerah dengan sumber rempah-rempah tinggi hingga abad 19. Sempat dijuluki ‘Kota Eropa Kecil’ di Asia Tenggara.



    Tjipto Mangoenkoesoemo
    1927-1940

    Tjipto bukan sekali saja dibuang ke pengasingan, sebelum Banda ia sempat dibuang ke Madura, Aceh, Palembang, Jambi, Bandung.

    Setelah Banda, masih ada Bali, Makassar lalu Sukabumi. Tjipto Wafat pada 1943 dengan masih berstatus orang buangan.


    Iwa Koesoemasoemantri
    1930-1940

    Iwa mendalami ilmu agama dari sahabatnya, hal ini membantunya mengatasi penderitaan batin selama pengasingan.




    Hatta-Sjahrir
    1936-1941

    Keduanya membuka sekolah sore untuk anak-anak setempat di rumah pengasingan.

    Rumah ini pun menjadi situs sejarah pengasingan rumah Bung Hatta.


    Makassar



    Pangeran Diponegoro
    1830-1855

    Selama di pengasingan, Pangeran Diponegoro sempat menyelesaikan catatan otobiografinya (Babad Diponegoro) pada tahun 1832.

    Pangeran Diponegoro wafat di tempat pengasingan, di mana penyebab kematiannya adalah kondisi fisik yang terus menurun lantaran usia lanjut.




    Sumedang


    Kabupaten Sumedang menjadi salah satu daerah pengasingan pejuang Indonesia di zaman kolonial Belanda. Salah satu pahlawan perempuan asal Aceh yaitu Tjut Nyak Dien

    Diasingkan ke Sumedang oleh pemerintah Belanda karena kegigihannya untuk melawan kolonialisme.

    Tjut Nyak Dien

    Semasa diasingkan, Tjut Nyak Dien membaktikan diri untuk mengajar ilmu agama pada penduduk sekitar. Hingga akhirnya wafat pada tahun 1908 dan dimakamkan di komplek pemakaman Gunung Puyuh Sumedang.





    MINAHASA


    Imam Bonjol
    1837-1864

    Diasingkan ke beberapa tempat mulai tahun 1837, sebelumnya akhirnya dipindahkan ke Minahasa dan meninggal di sana pada tahun 1864.





    Yang Terinspirasi Pada Orang Buangan

    Des Alwi
    1927-2010

    Anak angkat Hatta-Sjahrir dari Banda. Dikenal dengan sebutan ‘Raja Banda’ tanpa mahkota. Sejarawan, diplomat, penulis dan seorang advokat.

    Spesialis penghimpun dokumentasi sejarah sejak pra-kemerdekaan. Ikut berperang melawan Inggris di pertempuran Surabaya.

    Riwu Ga
    1918-1996

    Pelayan dan pengawal pribadi Sukarno dari Ende. Bertemu Sukarno pada usia 14, ia rela berjalan kaki 3 km hanya untuk menonton pertunjukan Bung Karno.

    Dibawa Sukarno ke Bengkulu hingga Jakarta. Ditugasi menyebarkan berita proklamasi keliling Jakarta.




    Yang Terbuang Setelah Kemerdekaan


    Sukarno


    Sjahrir


    Haji Agus Salim

    Tahun 1949, Presiden Sukarno, Sutan Sjahrir dan Menteri Luar Negeri, Haji Agus Salim diasingkan ke Parapat, Sumatera Utara oleh Belanda pasca Agresi Militer II.


    Orde Baru

    Sukarno

    Tahun 1967-1968, Sukarno diasingkan oleh rezim orde baru dan tinggal di Wisma Yaso, Jakarta Selatan.

    Tidak ada komentar:

    Diberdayakan oleh Blogger.