Ads Top

Mengenal Hepatitis C, Infeksi Bisu yang Menghantui Indonesia


Sumber foto: Shutterstock

NOTESIAGOY -- Hepatitis adalah salah satu penyakit yang sering menjangkiti masyarakat Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 memperkirakan bahwa sekitar 1,5 – 3 juta orang Indonesia sedang terinfeksi hepatitis. Hal ini berarti setidaknya satu dari 10 orang di Indonesia mengidap hepatitis kronis.

Sayangnya, pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan penyakit ini sangat kurang sehingga perlu ditetapkan Hari Hepatitis Sedunia yang jatuh setiap 28 Juli. Bahkan, 95 persen dari pengidap tidak mengetahui bahwa mereka telah terinfeksi oleh hepatitis.

Oleh karena itu, Dr Irsan Hasan SpPD-KGEH selaku Ketua Peneliti Hati Indonesia (PPHI) dan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Dirjen P2P Kemenkes RI, Dr Wiendra Woworuntu MKes, hadir di acara diskusi media “Hepatitis C dan Komplikasinya” untuk kembali mengingatkan masyarakat mengenai hepatitis, terutama hepatitis C.

Berbicara di acara yang diadakan oleh Forum Ngobras di Jakarta, pada Rabu (16/8/2017) lalu, Dr Irsan Hasan menjelaskan bahwa virus hepatitis sebenarnya ada lima jenis, yaitu A,B,C,D, dan E.

Akan tetapi, hanya B, C, dan D yang dapat menyebabkan infeksi kronis. Lalu, dari ketiga jenis tersebut, hepatitis C adalah yang paling bermasalah.

Pasalnya, walaupun sama-sama bisa menyebabkan sirosis dan kanker, hepatitis B dapat sembuh dengan sendirinya bila kekebalan tubuh meningkat. Sebaliknya, virus hepatitis C sulit untuk dieleminasi oleh sistem imunitas tubuh sehingga dapat berlanjut menjadi komplikasi serius.

Selain itu, 80 persen kasus hepatitis C juga tidak menunjukkan gejala apa-apa karena hati tidak memiliki saraf.

“Perjalanan pernyakit dari mulai terinfeksi menjadi infeksi akut kurang lebih 6 bulan. Namun, kita jarang menemukan kasus akut karena tidak bergejala. Kebanyakan kasus infeksi hepatitis terdeteksi setelah menjadi infeksi kronis dan berakhir dengan sirosis (pembentukan jaringan keras) hati,

“Kalau pun sudah sirosis biasanya tetap tidak ada gejalanya. Nanti kalau fungsi hati sudah turun sampai di bawah 50 persen baru ketahuan”
ujar Dr Irsan.



● Koinfeksi



Dr Wiendra Woworuntu MKes (kiri) dan Dr Irsan Hasan SpPD-KGEH (kanan) | Sumber foto: Shierine Wibawa

Dr Wiendra menyampaikan bahwa kelompok usia tertinggi infeksi hepatitis C di Indonesia adalah 50-59 tahun. Namun, kelompok usia 35-39 tahun cenderung mengalami kenaikan karena mereka berada di kelompok usia produktif.

Ditularkan melalui kontak darah, hasil surveilans Ditjen P2PL 2007-2012 menyebutkan bahwa Faktor Risiko Penularan Hepatitis C Adalah:

  • Penggunaan narkoba suntik (27,52%)
  • Hemodialisis (15,16%)
  • Keluarga pengidap hepatitis C (13,83%)
  • Pasca operasi (8,54%)
  • Hubungan seks tidak aman (7,51%)
  • Tranfusi darah (6,84%)
  • Tato atau tindik (5,89%)
  • Tenaga kesehatan (4,42%)
  • Transplantasi organ (0,37%)


  • Dikarenakan jalur penularan tersebut, hepatitis C pun sering kali hadir bersamaan dengan infeksi lain (koinfeksi), seperti HIV.

    Selain itu, penyakit ini juga sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronis yang melakukan hemodialisis atau cuci darah, walaupun tren menunjukkan penurunan selama beberapa tahun terakhir.

    Data di RSCM, misalnya, menyebutkan bahwa pada tahun 1997, masih didapatkan 72 persen pasien hemodialisis yang terinfeksi hepatitis C. Angka ini telah menurun menjadi 38 persen pada tahun 2011.

    Sementara itu, infeksi hepatitis C melalui hemodialisis di RS Sardjito Yogyakarta dan RSUD dr Soetomo Surabaya masih 55 persen dan 76,3-88 persen.

    Dr Wiendra berkata bahwa hal ini bisa disebabkan oleh proses hemodialisis yang tidak mengikuti prosedur operasi standar. Sebagai contoh adalah reuse dializer atau menggunakan ulang alat cuci darah yang sebenarnya diperbolehkan hingga beberapa tahun yang lalu.

    Dr Irsan mengatakan, sebenarnya, tindakan ini juga dilakukan di luar negeri dan di banyak tempat. Jadi, alat cuci darah dibersihkan dan digunakan ulang untuk pasien yang sama. Namun, tindakan ini dipertanyakan (keamanannya) dan sudah tidak dilakukan lagi.


    ● Screening dan pengobatan

    Untuk memenuhi target WHO dan Kemenkes yang mengharapkan eradikasi virus hepatitis C pada tahun 2030, beberapa program, mulai dari screening hingga pengobatan, pun dilaksanakan

    Kini, screening dapat dilakukan pada tingkat Puskesmas dan dilakukan pada risiko tinggi, yaitu pengguna narkoba suntik, pasien hemodialisis, keluarga dengan penderita hepatitis C, dan petugas kesehatan dan pasien yang kontak darah dengan penderita hepatitis C.

    Dipaparkan oleh Dr Wiendra, alat yang digunakan untuk melakukan screening hepatitis C dan dua penyakit lainnya pada saat ini adalah Tes Cepat Molekuler.

    Sejauh ini, Kemenkes sudah memiliki 41 unit, tetapi diagnosis hepatitis C di Indonesia masih sangat rendah. Oleh karena itu, Kemenkes dan PPHI pun berharap agar lebih banyak penduduk yang melakukan screening.

    Lalu, bila pasien memang terbukti memiliki hepatitis C, maka pengobatan harus dilakukan. Berbeda dengan penanganan hepatitis B dan HIV yang hanya bertujuan untuk menekan virus, penanganan hepatitis C bertujuan untuk kesembuhan total.

    Sebab, tingkat keberhasilan pengobatan untuk hepatitis C sejak ditemukannya antivirus dari golongan Direct Acting Antivirus (DAA) ini sangat tinggi, yakni di atas 90 persen. DAA juga minim efek samping dan mudah dikonsumsi sehingga jarang ada pasien yang menghentikan pengobatannya.

    Pada saat ini, sudah ada setidaknya lima jenis DAA yang sudah teregistrasi di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM):

  • Sofosbuvir
  • Simeprevir
  • Sofosbuvir + Ledipasvir
  • Grazoprevir + Elbasvir
  • Daclatasvir.


  • Namun, yang sudah masuk ke formularium nasional baru sofosbuvir, simeprevir dan ribavirin. Targetnya adalah melindungi 6.000 pasien hepatitis C melalui BPJS dengan prioritas kepada pasien yang koinfeksi karena tingkat mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi.

    Dr Wiendra mengatakan, pelayanan dan akses obat hepatitis C akan didorong ke layanan BPJS, termasuk pemeriksaan diagnostik dan juga evaluasi terapi berupa pemeriksaan HCV-RNA dan genotype, juga termasuk fungsi hati.



    Sumber: Kompas.com

    Tidak ada komentar:

    Diberdayakan oleh Blogger.