Cantiknya Batik Khas Majapahit, Bermotif Surya, Gapura dan Buah Maja
NOTESIAGOY - Membahas soal batik dan kain tenun sebenarnya sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit. Itu dibuktikan dengan sederet penemuan prasasti ataupun benda situs bersejarah peninggalan kerajaan terbesar yang pernah menyatukan Nusantara ini.
Di antaranya, alat tenun dan alat pemintal benang yang kini tersimpan di Museum Majapahit di Desa/Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Tak hanya itu, sejak dalam prasasti Madawapura sebelum abad ke 16, juga disebutkan tentang kesibukan masyarakat di zaman itu telah memproduksi kain (abhasan) serta pebuatan pewarna kain (amaranggi).
Tak heran jika, saat ini produksi batik di Mojokerto yang notabene merupakan bekas Ibu Kota Kerajaan Majapahit masih berjalan. Bahkan cenderung mengalami peningkatan. Seperti yang dilakukan puluhan warga di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur ini.
Jemari para kaum perempuan di desa ini tampak sudah begitu lihai menari di atas kain putih itu. Canting berisikan malam (lilin) mendidih, digoreskan ke pola yang sebelumnya sudah terlebih dahulu digambar menggunakan pensil. Canda, tawa di antara mereka, menjadi saksi bagaimana mereka melestarikan budaya warisan nenek moyang ini.
Batik Majapahit memiliki banyak corak dan motif. Selain Surya Majapahit, yang notabene simbol kerajaan Majapahit, ada motif buah Maja. Konon, buah Maja inilah yang membuat raja pertama kerajaan hindu terbesar di Asia Tenggara ini, Raden Wijaya, memberi nama wilayah tersebut Majapahit.
"Ada beberapa macam motif batik Majapahit, seperti Sulur Mojo, Gapura, dan lain-lain. Karena setiap pengrajin biasanya memiliki kembangan motif tersendiri. Namun, yang menjadi dasar adalah Surya Majapahit dan Buah Maja," ungkap salah seorang pengrajin batik Majapahit, Sri Mujiatin, Senin (11/9/2017).
Sudah bertahun-tahun Sri menjadi perajin batik di Mojokerto. Bakat membatik yang dimilikinya ternyata turun-temurun dari neneknya. Dulu, nenek Sri merupakan seorang pembatik rumahan yang biasa menyetorkan hasil karyanya kepada seorang pengusaha etnis Tionghoa di wilayah Kota Mojokerto.
Perempuan beruisa 39 tahun ini lantas bertutur. Menggeluti dunia batik, ternyata tidak mudah. Terlebih lagi di era moderen seperti saat ini. Ia bahkan sempat nyaris berhenti membatik lantaran kain batik bermotif Majapahit yang selama ini menjadi andalannya tak banyak diminati.
"Tahun 2013 itu tinggal dua orang yang membuat batik disisi, salah satunya saya. Karena saat itu, batik Majapahit ini tidak ada yang tertarik. Tidak hanya di sini, ternyata di desa-desa lain banyak yang sudah tidak memproduksi. Karena kami kesulitan untuk memasarkan," terang ibu dua anak ini.
Kondisi itu berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya perlahan ada wisatawan yang kebetulan datang ke Desa Bejijong dan melirik batik tulis buatannya. Dari itu, ia semakin bersemangat untuk memproduksi lagi batik Majapahit.
"Kemudian di tahun 2014, dari beberapa Dinas di Pemkab Mojokerto ini memesan batik Majapahit. Karena ada kebijakan menggunakan batik asli Majapahit. Waktu itu, saya dan warga disini mulai membatik lagi. Kalau tidak salah, ada sekitar 800 lembar pesanan saat itu," terangnya.
Akan tetapi, di awal tahun 2016, keberadaan batik Majapahit kembali terpuruk. Minimnya perhatian dari pemerintah daerah, membuat para perajin batik kembali beralih pekerjaan. Rata-rata mereka lebih memilih menjadi buruh pabrik atau home industri lantaran penghasilnnya yang lebih jelas.
"Baru di awal tahun 2017 ini mulai banyak lagi yang membatik. Karena Dinas Koperasi mulai sering mengajak kami untuk ikut pameran dimana-mana. Kemudian memberikan pelatihan, termasuk melakukan pemasaran melalui online. Sekarang ini setiap minggu, ada empat sampai lima orang yang memesan, padahal dulu sebulan ada satu atau dua pemesan saja sudah bagus," paparnya.
Nyaris punahnya perajin batik Majapahit di Kabupaten Mojokerto ini, diamini Kepala Dinas Koperasi Kabupaten Mojokerto Yoko Priyono. Ia pun tak menampik jika beberapa waktu belakangan ini, banyak pembatik yang beralih pekerjaan menjadi buruh pabrik.
"Memang benar, di awal tahun 2017, ada beberapa perajin batik yang mengatakan ke saya, kalau mereka sudah tidak lagi memproduksi. Karena kesulitan untuk menjual. Selain itu, warna batik sudah tidak lagi diminati, karena tidak bisa mengikuti tren," ungkapnya.
Dari itu, Yoko lantas mengambil inisitif guna mengumpulkan para perajin batik ini dalam satu wadah. Berbagai program seperti pelatihan pewarnaan, dan pemasaran ia lakukan agar batik Majapahit tak punah dari peredaran.
"Saya akhirnya menawarkan kerja sama dengan dua BUMN. Kebetulan mereka bersedia, sehingga ada sebagian CSR perusahaan itu dialihkan untuk menyelamatkan batik Majapahit ini. Jadi para perajin ini kita berikan pelatihan, dan kita dampingin untuk pemasaran baik dalam bentuk pameran maupun online," jelas Yoko.
Kini, di Kabupaten Mojokerto, sedikitnya sudah ada seratusan warga yang kembali memilih menjadi perajin batik Majapahit. Mereka pun terus berupaya untuk membuat pengembangan-pengembangan, terkait dengan motif batik Majapahit. Bahkan, para wisatawan dari luar jawa, seperti Bali, Kalimantan, dan Sumatra, juga sudah mulai tertarik dan memesan batik bercorak Majapahitan ini.
"Saat ini ada 28 BUMN yang menjadi target kami untuk bisa digandeng membumikan batik Majapahit. Kami juga tengah menjalin kerjasama dengan ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta untuk memberikan pelatihan kepada para perajin batik di Mojokerto, soal kombinasi pewarnaan. Semoga kedepan itu semua bisa terealisasi," tandas Yoko.
Tidak ada komentar: