Gadis-gadis Cantik Terjun ke Pedalaman untuk Mengajar: Rela Kepanasan Hingga Riasan Luntur
Geraldine Nuranisa, mengajar di SDN (Paralel) Mata Wee Tame, Sumba Barat. Sekolah tersebut adalah SD paralel yang berada di kawasan pedalaman Sumba | Sumber foto: TribunNews.com
NOTESIAGOY - "Aduh, suaraku sampai habis nih, tapi seru. Ini pengalaman yang luar biasa bisa mengajar anak-anak di pedalaman seperti ini,"
Begitulah ungkapan kebahagiaan Geraldine Nuranisa (20), gadis berparas cantik keturunan Swiss usai mengajar siswa kelas 1 SDN Mata Wee Tame, Desa Lolowano, Kecamatan Tana Righu, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) akhir pekan lalu.
Gadis yang masih mengenyam kuliah Semester VII di London School, Jakarta ini tak memperdulikan riasannya yang luntur dan rambut tak beraturan lantaran saking asiknya mengajar.
Di dalam kelas yang dindingnya dari anyaman bambu atau gedek, dan atapnya seng, Nadine dengan penuh semangat mengajar anak-anak. Ia tak segan berjongkok di kelas yang lantainya tanpa ubin demi bisa berdiri sejajar dengan siswa.
Geraldine Nuranisa (jongkok) bersama dr Lala Akal (kanan) dan Byanmara (berkaos putih merah) mengajar di SDN (Paralel) Mata Wee Tame, Sumba Barat. Sekolah tersebut adalah SD paralel yang berada di kawasan pedalaman Sumba
Dengan sabar ia membimbing anak-anak pedalaman untuk bernyanyi dan belajar bareng.
Kulit Nadine yang putih terlihat kontras dengan anak-anak yang tinggal di kampung perbukitan nan tandus dan kering. Kampung itu berjarak sekira 40 km dari Waikabubak, Ibukota Kabupaten Sumba Barat.
Dari ruang kelas yang kondisinya lebih menyedihkan lagi, Rinny Komara Sari (23) terlihat begitu antusias mengajar anak-anak kelas IV.
» Panas Terik
Di kelas yang lantainya masih berupa tanah urukan dengan dinding anyaman bambu yang banyak bolongnya, Rinny yang dengan penuh kelembutan, memakaikan ikatan kepala dari kertas hasil karya timnya di Komunitas 1000 Guru.
Gadis yang berprofesi sebagai pramugari di maskapai ternama ini juga penuh kesabaran mengajar ilmu geografi agar siswa pedalaman ini mengenal kepulauan Indonesia.
Rinny Komara Sari mengajar di SDN (Paralel) Mata Wee Tame, Sumba Barat. Sekolah tersebut adalah SD paralel yang berada di kawasan pedalaman Sumba | Sumber foto: TRIBUNNEWS.COM/YULIS
Ketika terik matahari kian mendera, dua gadis berparas manis yang berprofesi sebagai Vloger, yakni Gloria Asti dan Rani Ramadhani malah mengajak anak-anak bernyanyi sambil menari di halaman sekolah.
Terpaan debu dari halaman berupa tanah merah, tak menyurutkan dua mahasiswi asal Jakarta dan beberapa relawan 1000 Guru untuk terus mengajak siswa bernyanyi.
Para orangtua dan warga dengan wajah ceria menyaksikan anaknya dididik guru-guru muda dari komunitas 1000 Guru.
Dua vloger yakni Gloria dan Rani mengajar di SDN (Paralel) Mata Wee Tame, Sumba Barat
Byanmara (19), mahasiswi ITB Bandung yang juga menjadi bagian 1000 Guru, mengaku sangat bahagia bisa mengajar anak-anak pedalaman.
Gadis manis yang sudah beberapa kali ikut mengajar bersama Komunitas 1000 Guru di sekolah pelosok di Pulau Jawa, tak menyangka masih banyak anak-anak Indonesia yang tingkat kecerdasannya masih jauh di bawah standar.
"Saya baru sekali mengajar anak-anak pedalaman di kawasan Timur Indonesia. Daya tangkapnya sangat rendah. Diajak ngomong susah nyambung. Bahkan, warna saja nggak tahu. Tadi saat ditanya apa warna bendera Indonesia, mereka sebut kuning," ujar Byanmara yang juga mengajar kelas 1 SDN paralel Mata Wee Tame.
Byanmara (berkaos putih-merah), dokter Lala Akal (paling kanan), Pandu (vloger) berambut gondrong saat Nurhasanah (selendang biru) mengajar di SDN (Paralel) Mata Wee Tame,Sumba Barat | Sumber foto: TRIBUNNEWS.COM/YULIS
Saat jam menunjukkan pukul 12.15 Wita, terik matahari kian menyengat. Adilhara Alcitamesa Akal duduk meneduh di teras halaman sekolah. Debu berterbangan tak dihiraukan gadis manis keturunan Alor ini.
Ia mencoba menepi di dekat pintu masuk kelas 3. Namun matanya terus memandang anak-anak desa pedalaman yang baru saja di ajarnya.
Lala panggilannya. Ia adalah dokter yang bertugas di Kupang.
"Miris banget kondisinya. Di luar sana banyak orang menghambur-hamburkan uang ratusan juta, tapi di sini anak-anak beli sepatu saja tidak mampu. Tadi saya sempat betulkan rok siswa yang sudah robek dan resletingnya tak ada lagi. Namun itu lah rok yang mereka punya dan terus dipakai," ujar dokter Lala.
» 1000 Guru
Belasan gadis dan pria muda ini adalah sukarelawan komunitas 1000 Guru yang akhir pekan lalu mendatangi sekolah di pedalaman Pulau Sumba, NTT.
Bersama PT Fast Food (KFC) Indonesia, 1000 Guru menjadikan SDN (Paralel) Mata Wee Tame ini menjadi bagian dari Project Smart Center. Saat ini sudah 35 Smart Center yang didirikan KFC-1000 Guru di pedalaman nusantara.
KFC dan 1000 Guru mendirikan Smart Project Center di SDN paralel Mata Wa Matee, Sumba Barat | Sumber foto: Tribunnews/Yulis
Sekolah yang dijadikan Smart Center adalah sekolah yang berada di pedalaman dan para siswanya anak warga setempat yang terkategori miskin.
Selama enam bulan, para siswa akan mendapatkan tambahan nutrisi berupa bubur kacang hijau, telur dan susu yang diberikam gratis tiga hari dalam sepekan. Para siswa biasanya juga dibantu peralatan sekolah seperti tas, sepatu dan buku.
» Peduli Pendidikan
Rinny Komara yang setiap hari bertugas menjadi pramugari maskapai ternama di Indonesia, mengaku baru tahu ada komunitas 1000 Guru saat sedang menyaksikan pameran mobil di kawasan BSD Tangerang.
Rinny menceritakan bahwa dulu sewaktu masih sekolah SMA, kondisi ekonomi orangtuanya sangat kekurangan. Itu terjadi lantaran ayahnya sakit keras dan butuh biaya besar untuk berobat.
Hampir saja Rinny putus sekolah karena ketiadaan biaya. Hanya tekad bulat bersekolah yang mengantarnya bisa lulus SMA. Untuk menutupi biaya sekolah, Rinny rela berjualan kue di sekolahannya.
Tak patah semangat, Rinny melanjutkan kuliah di kampus swasta Bandung.
"Pagi hingga sore saya kerja, sore-malam saya kuliah," kisahnya.
Bersyukur, setelah lulus kuliah Rinny diterima menjadi pramugari.
Rinny Komara Sari, pramugari yang menjadi relawan 1000 Guru. Ia mengajar di SDN (Paralel) Mata Wee Tame, Sumba Barat
Dan kini, Rinny mencoba berbagi ilmu dan rela ikut mengajar di pedalaman bersama komunitas 1000 Guru.
"Saya ingin menginspirasi dan berbagi dengan sesama yang lain yang berjuang untuk mendapatkan pendidikan.Apalagi ini di pedalaman yang listrik saja tidak ada dan sekolah di bilik bambu," ujar Rinny.
Dokter Lala juga mengisahkan, ia justru memilih bertugas di daerah-daerah tertinggal. Setelah lulus kuliah, dokter Lala yang besar di Jakarta ini memilih bertugas di Kupang.
Selain menjadi dokter, Lala juga aktif di kegiatan gereja. Setiap Rabu dan Minggu, gereja juga melakukan kegiatan sosial. Bersama jemaat lainnya, dokter Lala ikut membersihkan anak-anak miskin dan kemudian mengajar lantaran anak anak itu tak bersekolah.
"Saya biasa mengajar anak anak miskin. Jadi ketika diajak mengajar di pedalaman bersama 1000 Guru, saya sangat tertarik. Dan ternyata kondisinya miris sekali anak- anak di pedalaman ini," ujar dr Lala Akal.
Dokter Lala Akal (kanan) mengajar bersama relawan 1000 Guru di Sumba Barat
Byanmara yang masih kuliah di ITB mengisahkan, selama ini ia aktif mengajar anak-anak jalanan di Kota Bandung bersama komunitas Rumah Mimpi. Ia juga beberapa kali menjadi sukarelawan 1000 Guru di Jawa.
"Pernah mengajar di Banten. Padahal tak sebegitu jauh dari Kota Propinsi, tapi anak-anaknya sangat tertinggal. Dan sekarang, di Sumba ini, anak-anaknya jauh lebih tertinggal," ujar Byan.
Nurhasanah, mahasiswi UGM Yogyakarta yang ikut mengajar 1000 Guru di Sumba juga mengisahkan, ia baru saja menyelesaikan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di daerah pelosok Bengkulu. Hampir dua bulan lamanya ia hidup dan tinggal bersama warga di pelosok Bengkulu.
KFC dan 1000 Guru mendirikan Smart Project Center di SDN paralel Mata Wa Matee, Sumba Barat | Sumber foto: Tribunnews/Yulis
"Kalau boleh memilih, saya akan memilih mengajar anak-anak di pedalaman seperti ini. Mereka sangat membutuhkan pendidikan yang lebih baik agar masa depan mereka juga akan menjadi lebih baik," ujar Hasanah.
Tidak ada komentar: