4 Barang Tak Terduga Yang Bisa Menjadi Pengganti Listrik dan Gas
NOTESIAGOY - Pemerintah tengah mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) guna mengganti energi fosil yang selama ini dipakai oleh masyarakat.
Pengembangan EBT juga bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang ditargetkan mencapai 23 persen hingga tahun 2030, sesuai dengan Kesepakatan Paris.
Beberapa EBT yang sudah dikembangkan pemerintah antara lain tenaga surya, udara, air, dan panas bumi yang bisa menghasilkan listrik dan gas.
Namun, sumber EBT nyatanya tak hanya berasal dari komponen-komponen tersebut. Barang-barang di sekeliling Anda pun bisa menjadi EBT tanpa Anda sadari.
Berikut 5 barang tak terduga yang bisa menjadi energi pengganti listrik dan gas.
1. Kulit kopi
Sumber foto: shutterstock.com/saiko3p
Anggota Tim Peneliti Coffee For Social Welfare (CFW) Universitas Jember, Soni Sisbudi Harsono, memanfaatkan limbah kopi menjadi bahan bakar gas. Limbah kopi bisa digunakan masyarakat sebagai pengganti gas untuk memasak kebutuhan sehari-hari.
"Kulit kopi bisa dijadikan bahan bakar pengganti gas oleh masyarakat, sehingga dapat menghemat ekonomi dan kini tinggal bagaimana masyarakat diberikan pelatihan untuk mengolah kulit kopi menjadi bahan bakar," katanya seperti dikutip dari Antara di Kampus Universitas Jember, Jawa Timur, pada Rabu (4/10/2017) lalu.
Saat musim panen raya kopi, lanjut dia, banyak ditemukan tumpukan menggunung dari limbah cangkang kopi ataupun kulit kopi dan tanpa penanganan yang bagus. Padahal, limbah kulit kopi itu dapat berpotensi menjadi sumber penyakit bagi masyarakat sekitar.
"Limbah kopi itu bersifat asam, sehingga tidak bagus untuk tanah dan berpotensi menjadi sumber penyakit bagi masyarakat sekitar. Biasanya masyarakat yang berada di sekitar limbah kopi sering sakit-sakitan, sehingga perlu ada upaya mengolah limbah dengan baik dan membawa berkah bagi masyarakat sekitar," tuturnya.
Untuk itu, dosen di Fakultas Teknologi Pertania (FTP) Universitas Jember itu bersama mahasiswanya tengah berupaya, agar limbah kopi bisa dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat.
"Misalnya dapat digunakan sebagai bahan bakar dan proses pembuatan bahan bakar berupa briket berbahan dasar kulit kopi cukup mudah yakni limbah kulit kopi dikeringkan hingga kadar airnya di bawah 12 persen," katanya.
Kemudian ukurannya diperkecil dan dicampurkan dengan bahan lain seperti grajen kayu atau arang sekam yang dicampur dengan lem berbahan ketela yang dibuat sendiri. Setelah itu dimasukan pada mesin pencatak kemudian dikeringkan.
Dia mengatakan biaya untuk proses pembuatan pelet bahan bakar kompor itu terjangkau bagi masyarakat menengah kebawah dan untuk menghasilkan 1 kilogram briket hanya memakan biaya Rp 6.500.
"Setiap kilogram bisa untuk masak nasi 1 kilogram, masak air dan masak lauk pauk selama 8 jam, sehingga lebih hemat 25 persen dari total biaya gas subsidi dan sangat membantu mengurangi pengeluaran belanja rumah tangga," tuturnya.
Soni bersama timnya telah berhasil memproduksi kompor hemat energi yang bahan bakarnya bisa menggunkan limbah kulit kopi dan kompor tersebut akan segera diproduksi massal untuk dibagikan atau dijual dengan harga murah kepada masyarakat sekitar perkebunan kopi.
"Tidak hanya kulit kopi, ranting dan daun kopi pun bisa diproses sebagai bahan bakar kompor yang kami produksi. Api pun yang dihasilkan cukup besar bisa digunakan untuk rumah tangga ataupun usaha kecil seperti para penjual gorengan," ujarnya.
Dia berharap kompor buatannya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar perkebunan kopi dan akan membimbing masyarakat, agar bisa memproduksi kompor dan briket secara mandiri.
"Biaya untuk pembuatan satu kompor tidak lebih dari Rp 125.000 dan bahan bakarnya pun tidak harus limbah kulit kopi karena bahan bakar berupa Biopellet itu juga bisa dibuat dari limbah kotoran binatang ternak, batang pohon pisang dan sampah organik rumah tangga lainnya," katanya.
2. Pohon kedondong
Naufal Raziq, penemu listrik dari pohon kedondong | Sumber foto: istimewa
Naufal Raziq, 15 tahun, menemukan energi listrik dari pohon kedondong (Spondias dulcis Forst) berupaya untuk terus menyempurnakan temuannya agar semakin bermanfaat dan berkelanjutan.
Siswa kelas III MTS Negeri Langsa Lama, Kota Langsa, Nanggroe Aceh Darussalam, itu tengah mencari cara agar ada akselerasi daya pemulihan (recovery) energi listrik dari pohon kedondong secara optimal.
"Saya merasa saat ini energinya belum begitu stabil. Saya lakukan eksperimen dengan proses charging menggunakan baterai sebagai penyimpan daya sehingga energi dari pohon kedondong siang harinya dapat disimpan di baterai dan pada malamnya energinya dapat kembali digunakan untuk menghidupkan lampu," ujar Naufal di Jakarta, pada Jumat (12/5/2017) lalu.
Menurut Naufal, dari percobaan sebelumnya, kemampuan pemulihan dari pohon kedondong membutuhkan waktu lama dan belum stabil.
Saat ini, dia tengah melakukan uji coba dengan proses penyimpanan energi dari pohon kedondong ke charger baterai dan dari sana ke lampu atau mirip proses solar cell.
"Saya berharap nyala lampu bisa stabil karena pada proses sebelumnya dengan langsung dari pohon ke lampu, energinya tidak stabil dan lama kelamaan drop dan recovery secara alaminya lambat sekali," katanya.
Temuan energi listrik dari pohon kedondong yang biasa menjadi pagar halaman rumah warga di Langsa itu sederhana, dengan rangkaian yang terdiri atas pipa tembaga, batangan besi, kapasitor dan dioda. Temuan Naufal menghasilkan daya sebesar 0,5-1 Volt per elektroda yang dipasang pada rangkaian pohon kedondong.
Menurutnya, arus listrik yang dihasilkan sangat bergantung kepada kadar keasaman pohon. Melalui beberapa evaluasi dan perbaikan, pohon listrik itu telah menerangi puluhan rumah di Tampur Paloh, Kecamatan Simpang Jernih, Langsa untuk pencahayaan lampu malam hari.
"Saya senang sekali dan bangga penemuan saya bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitar," tegasnya.
Naufal mengaku proses penemuan energi listrik dari pohon kedondong cukup lama. Itu berawal saat dia mempelajari ilmu pengetahuan alam dan membaca bahwa buah yang mengandung asam bisa menghantarkan listrik.
"Saya juga uji coba pada buah kentang. Setelah itu, saya berpikir lagi,kalau buahnya mengandung asam berarti pohonnya juga mengandung asam. Akhirnya saya mulai melakukan eksperimen," ujarnya.
3. Limbah
Tak hanya Jakarta, sampah juga menjadi problem utama di seluruh Indonesia. Jika tak ditangani, sampah bisa menyebabkan gangguan terhadap kesehatan dan kerusakan lingkungan.
Lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB), Andreas punya inovasi cerdas untuk mengatasinya. Insinyur ini membuat biogaster, sebuah kompor gas yang seluruh bahannya merupakan sampah organik, dan kotoran sapi.
"Jadi ini adalah biomassa biologi untuk menghasilkan biogas jadi bahan bakar. Bisa jadi sayuran bekas, bisa dari rumput. Enggak susah masak makanan," kata Andreas saat dihubungi merdeka.com, pada Senin (28/3/2017) lalu.
Sistem kerja Biogaster ini tidak begitu rumit, petani atau warga cukup memasukkan sampah organik seperti sampah sayuran atau rumput liar ke dalam tungku. Nantinya sampah tersebut akan diolah secara alami oleh bakteri yang sudah disiapkan.
"Bakteri ini secara alami akan mengolahnya. Bakteri ini ada di dalam kotoran ternak sapi, atau rawa-rawa, dasar saluran parit," jelasnya.
Sayangnya, alat ini belum mendapatkan hak paten, namun sudah digunakan di banyak daerah.
"Udah banyak dipakai, ada di Kalimantan, ada di Purwakarta dan sebagainya," lanjut Andreas.
Semula, penciptaan alat ini dilakukan untuk menggantikan fungsi gas elpiji yang dianggap membebani rumah tangga.
"Kalau dulu, sebagai pengganti elpiji, ganti biaya rumah tangga, dan memusnahkan limbah atau kotoran ternak. Sehingga, sampah atau kotoran ternak terangkat supaya tidak cermati efek global pemanasan. Banyak manfaatnya," paparnya.
4. Sampah
Kota Solo, Jawa Tengah akan memiliki pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo.
Direktur PT.Solo Citra Metro Plasma Power Elan Syuherlan, mengatakan, PLTSa akan menggunakan teknologi plasma gasifikasi yang merupakan pertama kalinya di Indonesia. Sampah akan diolah dalam reaktor plasma bersuhu 5.000 derajat Celsius. Teknologi tersebut diklaim aman dan bebas polusi, karena tidak melalui proses pembakaran.
"Tidak ada asap, debu maupun limbah beracun. Limbah dari proses itu akan membantu dan bisa dimanfaatkan untuk pengerasan jalan," kata Elan, pada Jumat (3/2/2017) lalu.
Dia menambahkan, proyek tersebut memang pernah dibatalkan, seiring dibatalkannya Peraturan Presiden (Prepres) Nomor 18 tahun 2016 oleh Mahkamah Agung. Karena tidak punya payung hukum harus tertunda.
Namun pada akhirnya proyek sudah sampai pada tahap perancangan konstruksi tersebut bisa dilanjutkan. Yakni dengan menggunakan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 tahun 2017 tentang Pengadaan dan Pembelian Energi Listrik.
Menurut dia, Perpres tentang program percepatan pembangunan pembangkit listrik berbasis sampah itu merupakan payung hukum terhadap program percepatan pembangunan PLTSa di tujuh kota. Di antaranya, Solo, DKI Jakarta, Tanggerang, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makassar.
Peraturan Menteri ESDM tersebut, sambung Elan, memberikan kepastian hukum bagi pihaknya selaku investor.
"Dengan peraturan ini kami tidak ragu-ragu lagi dalam bekerja," katanya.
Tidak ada komentar: